Selasa, 11 Agustus 2009

Empat tipe manusia menghadapi tekanan hidup

Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh”

Pembaca, hidup memang tidak lepas dari berbagai tekanan. Lebih-lebih, hidup di alam modern ini yang menyuguhkan beragam risiko. Sampai seorang sosiolog Ulrich Beck menamai jaman kontemporer ini dengan masyarakat risiko. Alam modern menyuguhkan perubahan cepat dan tak jarang mengagetkan.

Nah, tekanan itu sesungguhnya membentuk watak, karakter, dan sekaligus menentukan bagaimana orang bereaksi di kemudian hari. Pembaca, pada kesempatan ini, saya akan memaparkan empat tipe orang dalam menghadapi berbagai tekanan tersebut. Mari kita bahas satu demi satu tipe manusia dalam menghadapi tekanan hidup ini.

Tipe pertama, tipe kayu rapuh. Sedikit tekanan saja membuat manusia ini patah arang. Orang macam ini kesehariannya kelihatan bagus. Tapi, rapuh sekali di dalam hatinya. Orang ini gampang sekali mengeluh pada saat kesulitan terjadi.

Sedikit kesulitan menjumpainya, orang ini langsung mengeluh, merasa tak berdaya, menangis, minta dikasihani atau minta bantuan. Orang ini perlu berlatih berpikiran positif dan berani menghadapi kenyataan hidup.

Majalah Time pernah menyajikan topik generasi kepompong (cacoon generation). Time mengambil contoh di Jepang, di mana banyak orang menjadi sangat lembek karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan. Menghadapi orang macam ini, kadang kita harus lebih berani tega. Sesekali mereka perlu belajar dilatih menghadapi kesulitan. Posisikan kita sebagai pendamping mereka.

Tipe kedua, tipe lempeng besi. Orang tipe ini biasanya mampu bertahan dalam tekanan pada awalnya. Namun seperti layaknya besi, ketika situasi menekan itu semakin besar dan kompleks, ia mulai bengkok dan tidak stabil. Demikian juga orang-orang tipe ini. Mereka mampu menghadapi tekanan, tetapi tidak dalam kondisi berlarut-larut.

Tambahan tekanan sedikit saja, membuat mereka menyerah dan putus asa. Untungnya, orang tipe ini masih mau mencoba bertahan sebelum akhirnya menyerah. Tipe lempeng besi memang masih belum terlatih. Tapi, kalau mau berusaha, orang ini akan mampu membangun kesuksesan dalam hidupnya.

Tipe ketiga, tipe kapas. Tipe ini cukup lentur dalam menghadapi tekanan. Saat tekanan tiba, orang mampu bersikap fleksibel. Cobalah Anda menekan sebongkah kapas. Ia akan mengikuti tekanan yang terjadi. Ia mampu menyesuaikan saat terjadi tekanan. Tapi, setelah berlalu, dengan cepat ia bisa kembali ke keadaan semula. Ia bisa segera melupakan masa lalu dan mulai kembali ke titik awal untuk memulai lagi.

Tipe keempat, tipe manusia bola pingpong. Inilah tipe yang ideal dan terhebat. Jangan sekali-kali menyuguhkan tekanan pada orang-orang ini karena tekanan justru akan membuat mereka bekerja lebih giat, lebih termotivasi, dan lebih kreatif. Coba perhatikan bola pingpong. Saat ditekan, justru ia memantuk ke atas dengan lebih dahsyat. Saya teringat kisah hidup motivator dunia Anthony Robbins dalam salah satu biografinya.

Untuk memotivasi dirinya, ia sengaja membeli suatu bangunan mewah, sementara uangnya tidak memadai. Tapi, justru tekanan keuangan inilah yang membuat dirinya semakin kreatif dan tertantang mencapai tingkat finansial yang diharapkannya. Hal ini pernah terjadi dengan seorang kepala regional sales yang performance-nya bagus sekali.

Bangun network

Tetapi, hasilnya ini membuat atasannya tidak suka. Akibatnya, justru dengan sengaja atasannya yang kurang suka kepadanya memindahkannya ke daerah yang lebih parah kondisinya. Tetapi, bukannya mengeluh seperti rekan sebelumnya di daerah tersebut. Malahan, ia berusaha membangun netwok, mengubah cara kerja, dan membereskan organisasi. Di tahun kedua di daerah tersebut, justru tempatnya berhasil masuk dalam daerah tiga top sales.

Contoh lain adalah novelis dunia Fyodor Mikhailovich Dostoevsky. Pada musim dingin, ia meringkuk di dalam penjara dengan deraan angin dingin, lantai penuh kotoran seinci tebalnya, dan kerja paksa tiap hari. Ia mirip ikan herring dalam kaleng. Namun, Siberia yang beku tidak berhasil membungkam kreativitasnya.

Dari sanalah ia melahirkan karya-karya tulis besar, seperti The Double dan Notes of The Dead. Ia menjadi sastrawan dunia. Hal ini juga dialami Ho Chi Minh. Orang Vietnam yang biasa dipanggil Paman Ho ini harus meringkuk dalam penjara. Tapi, penjara tidaklah membuat dirinya patah arang. Ia berjuang dengan puisi-puisi yang ia tulis. A Comrade Paper Blanket menjadi buah karya kondangnya.

Nah, pembaca, itu hanya contoh kecil. Yang penting sekarang adalah Anda. Ketika Anda menghadapi kesulitan, seperti apakah diri Anda? Bagaimana reaksi Anda? Tidak menjadi persoalan di mana Anda saat ini. Tetapi, yang penting bergeraklah dari level tipe kayu rapuh ke tipe selanjutnya. Hingga akhirnya, bangun mental Anda hingga ke level bola pingpong. Saat itulah, kesulitan dan tantangan tidak lagi menjadi suatu yang mencemaskan untuk Anda. Sekuat itukah mental Anda?

Kisah Teladan dihari Ibu

Pada suatu hari menjelang hari ibu (22 Desember), saya mengikuti diskusi teman-teman tentang hadiah yang mereka berikan pada ibu masing-masing. Seorang memberikan bunga pada ibunya, karena menurutnya bunga mewakili cinta yang ia sampaikan pada ibunya atas kasih yang ia terima dari ibunya. Teman yang lain ada yang tidak ingin ibunya bekerja terlalu berat. Di hari yang special bagi seorang ibu, sang anak memberikan kesempatan ibunya tidak bekerja berat. Ada juga yang sekadar memberi ucapan selamat pada ibunya. Sungguh saya menjadi kagum dengan sikap teman-teman yang tetap hirau dengan ibunya, meski beliau tidak dekat besama anak-anaknya. Mereka menunjukkan kerinduannya pada sang ibu. “Aku jadi teringat dengan ibuku di rumah”, kata seorang teman.
Saya sempat merenungkan hal ini juga. Kapan saya bisa sedikit membuat hati ibu saya bahagia. Mungkin terlalu jauh bila mengatakan ingin membalas budinya, karena budi dan kasih sayangnya tak akan terbalaskan.
Mari kita mengenang seberapa gigih perjuangan ibu. Sejak masih dalam kandungan kita tela mendapat kasih sayangnya. Ibu rela menanggung segala kesulitan yang dialami dalam kondisi berbadan dua(hamil) seperti itu. Namun ibu tetap sabar menunggu hingga, buah hatinya yang tercinta lahir.
Belum lagi ketika harus berjuang mati-matian saat melahirkan sang anak. Bagaikan menggantukan diri pada sehelai rambut. Mempertaruhkan jiwa demi keselamatan buah hati yang ditunggu-tunggu jerit tangisnya. Selanjutnya ibu memberiikan ASI-nya agar gizi sang anak terpenuhi. Pada masa perkembangan sang anak tidak jarang sakit, sehingga cukup menyita waktu dan perhatian ibu agar anaknya sembuh dan sehat lagi.
Siapakah yang memberikan pendidikan kita untuk pertama kalinya? Sebagian dari kita akan mengatakan ibu-lah yang mendidik kita pertama kali. Kita diajarkan berbiacara, sering kita dengar bahwa kata pertama yang bisa diucapkan bayi adallah Ma…ma. Mendengar kata ini menunjukaan betapa anak ketika itu sangat mendambakan belaian kasih seorang ibu. Ibu mengajarkan kita merangkak hingga bisa berjalan. Mengajarkan kita dengan penuh kesabaran. Satu hal yang dapat kita petik dari pengalaman, ketika ketika jatuh saat belajar berjalan, orang tua tidak memarahi kita, namun meyuruh dan membatu kita bangun dan mulai berjalan lagi, adalah ketika kita gagal, kita mesti bisa memotivasi diri untuk mencobanya lagi hingga kita berhasil.
Setelah bisa bermain-main dengan orang lain, sering juga sang anak membuat susah ibunya. Ibu sering menerima penaduan atas kenakalan anaknya, dan tak sedikit ada yang melontarkan kata-kata yang cukup tajam, “ Inikah yang ibu/orang tuamu ajarkan padamu?”, Ketika kita masih kecil dan belum terlalu tahu benar salah,mungkin tidak begitu berarti. Namun bila kita sudah mengenal dan harus bersikap yang semestinya, kita melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, betapa sakitnya hati sang ibu kalau menerima pengaduan seperti itu lagi.
Meski anak sering membuat kesalahan, namun kasih ibu tak pernah surut. Ibu merupakan orang yang paling sering memberikan pembelaan untuk anak Ibu tidak ingin anaknya putus asa, dan memberi kesempatan kepada putr-putrinya untuk berbenah diri.
Hingga saat ini, berapa banyak kesalahan yang kita lakukan pada ibu? Berapa kali kita mengucapkan sekadar kata maaf kepada-nya? Meski kita tidak mohon maaf, ibu telah memaafkan kita dengan ikhlas, tak ada dendam dihatinya, yang ada hanya kasih yang selalu menemani dan mengantarkan putra-putreinya meraih sukses.
Mari dihari Ibu ini, kita berusaha merasakan cinta kasih ibu, dan belajar berterima kasih padanya, walau hanya dengan ucapan selamat hari Ibu, atau mungkin sebatas melakukan hal kecil yang dapat membuat bahagi dan ,enyejukkan hati ibu, “hormat kami, putra-putrimu Ibu” [write : Hapit Putra Kaumanjaya]

Asal mula Beruang Teddy Bear

Suatu hari, Presiden Theodore Roosevelt pergi berburu. Seekor beruang tertangkap dan diikat agar presiden dapat menembaknya, namun Presiden Roosevelt tidak mau membunuh beruang itu. Kisah ini menjadi terkenal ketika dilaporkan di surat kabar dan digambar dalam bentuk kartun.

Seorang laki-laki bernama Morris Michtom memiliki toko permen dan alat-alat tulis. Istrinya yang bernama Rose kadang-kadang membuat boneka beruang kecil yang diletakkan di jendela toko mereka. Morris melihat kartun beruang di koran dan mendapatkan ide. Dia minta istrinya membuat beberapa beruang khusus seperti yang ada dalam gambar kartun itu.

Lalu Morris menulis surat yang ditujukan ke Gedung Putih, menanyakan apakah beruang baru itu boleh diberi nama seperti nama Presiden. Presiden membalas surat itu, “Saya pikir nama saya tidak begitu berharga dalam bisnis beruang, tapi anda boleh saja menggunakannya.”

Maka Morris meletakkan beruang-beruang baru itu di jendela tokonya, di sebelah gambar kartun. Boneka beruang itu dinamai dengan nama panggilan Presiden Roosevelt, Teddy. Dan sampai sekarang boneka beruang tersebut terkenal dengan nama “Teddy Bear”.

Pengalaman seorang pramugari

Ada seorang pramugari dari China Airline, baru beberapa tahun bergabung dengan perusahaan penerbangan, hari hari di isi dengan membantu penumpang dan ia merasakan hal ini biasa-biasa saja.

Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.
Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.

Diantara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya, pada saat itu saya yang berdiri dipintu pesawat menyambut penumpang kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat. Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman, ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.

Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakan karung tua diatas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkannya duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.

Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet tetapi dia takut apakah dipesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang didalam pesawat.

Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet, pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang disebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakan segelas minuman teh dimeja dia, ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan dipinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minunam kepada penjual makanan dipinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.

Setelah kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya.

Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah ditingkat tiga di Peking. anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal dikota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking, anak sulungnya tidak tega orang tua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama-sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri akhirnya dengan terpaksa disetujui anaknya.

Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan dibandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut ditempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh ditempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.

Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? dan meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.

Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa dimata seorang desa menjadi begitu berharga.

Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh didalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri, perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak, hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian.

Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seseorang anggota yang bekerja dilapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam-ragam penumpang sudah saya jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya, perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya dimasa datang yaitu jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.

Jumat, 24 Juli 2009

JANGAN PERNAH NYERAH

Jangan Pernah Menyerah ( dalam memperjuangkan Kebenaran )
Tidak perduli apa pun yang sedang terjadi..

Jangan Pernah Menyerah
Dalam mengembangkan dan mengenal Hati Nurani

Terlalu banyak usaha dalam penduduk dunia,
lebih mengembangkan kecerdasan otak dan pikiran logika
daripada mengembangkan dan mengenal Hati Nurani

Berbelas Kasihlah
Tidak hanya kepada teman-teman Anda,
tapi kepada setiap orang..

Berbelas Kasihlah
Berkarya untuk Perdamaian,
di dalam hatimu dan Dunia ini

Sekali lagi,
Jangan Pernah Menyerah
Tidak perduli apapun yang sedang menimpa dirimu
Tidak perduli apapun yang sedang terjadi di sekelilingmu..

Jangan Pernah Menyerah

KARENA DIA MANUSIA BIASA

Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir, manusiawi lah). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya.

Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim.

Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.

Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti, agar bisa menemaninya selama proses pernikahan. Begitu banyak pertanyaan dikepala saya. Asli. Saya pengin tau, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu.

Ada apakan gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu (sok sibuk sih aslinya). Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan. Beberapa kali dia telfon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telfon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That’s all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap dirumahnya. Jam 11 malam, H-1 kita baru bisa ngobrol -hanya- berdua di taman rumahnya. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya.

“Aku gak bisa tidur.” Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat ini. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan lampu taman.

“Kenapa kamu memilih dia?” Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari duduknya sambil meraih HP disaku bajunya. Ia masuk dalam kamar berlahan dia membuka laci meja riasnya dan kembali ke taman lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja. Apaan sih. Saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.

“Buka aja.” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih hehehe. Saya membaca satu kalimat di atas dideretan paling atas.

“Busyet dah nih orang.” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia Cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat inipun saya masih hapal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu.

HIDUP BERSAMA DALAM SUSAH DENGAN CINTA YANG TULUS

Ada sepasang suami-istri yang berjualan nasi kuning di sebuah kompleks perumahan di Jati Bening. Umur mereka sudah tidak muda lagi. Sang suami mungkin sudah berumur lebih dari 70, sedangkan istrinya sekitar 60-an. Di sekitar mereka ada beberapa gerobak lain yang juga menjual makanan untuk sarapan pagi. Tapi dari semuanya, hanya gerobak mereka
yang paling sepi.

Setiap pagi, dalam perjalanan menuju ke kantor, saya selalu melewati gerobak mereka yang selalu sepi. Gerobak itu tidak ada yang istimewa. Cukup sederhana. Jualannya pun standar.

Setiap pagi pula, sepasang suami-istri itu duduk menjaga gerobak mereka dalam posisi yang selalu sama. Sang suami duduk di luar gerobak, sementara istrinya di sampingnya. Kalau ada pembeli, sang suami dengan susah payah berdiri dari kursi (kadang dipapah istrinya) dan dengan ramah menyapa pembeli. Jika sang pembeli ingin makan di tempat, sang suami merapikan tempat duduk, sementara istrinya menyiapkan nasi kuning dan menyodorkan piring itu pada suaminya untuk diberikan pada sang pelanggan. Kalau sang pembeli ingin nasi kuning itu dibungkus, sang istri menyiapkan nasi kuning di kertas pembungkus, dan menyerahkan nasi bungkusan itu pada suaminya untuk diserahkan pada sang pelanggan.

Saat sedang sepi pelanggan, pasangan suami-istri itu duduk diam. Sesekali jika istrinya agak terkantuk-kantuk, suaminya mengurut punggung istrinya. Atau jika suaminya berkeringat, sang istri dengan sigap mengambil sapu tangan dan mengelap keringat suaminya.

Kalau mau jujur, nasi kuning mereka tidak terlalu spesial. Sangat standar. Tapi, kalau saya mencari sarapan pagi, saya selalu membeli nasi kuning di tempat mereka. Bukan spesial-tidaknya. Tapi lebih karena cinta mereka yang membuat saya tergerak untuk selalu mampir.

Dalam kesederhanaan, kala susah dan sedih karena tidak ada pelanggan, mereka tetap bersama. Sang suami tidak pernah memarahi istrinya yang tidak becus masak. Sang istri pun tidak pernah marah karena gerakan suaminya yang begitu lamban dalam melayani pelanggan. Dia bahkan memberi kesempatan suaminya untuk melayani pelanggan.

Mereka selalu bersama, dan saling mendukung, bahkan di saat susah sekali pun.

Hingga hari ini, sudah 10 tahun saya lewati tempat itu, mereka masih tetap di tempat yang sama, menjual nasi kuning, dan selalu bersikap sama. Penuh kesederhanaan. Penuh kasih sayang. Dan saling menguatkan di saat susah.

Jika Anda berkunjung ke Bekasi, Anda bisa mampir ke jalan raya komplek Jati Bening Indah. Tidak susah mencari gerobak mereka yang sederhana. Carilah gerobak yang paling sepi pelanggan. Mereka berjualan sejak pukul 07.00 hingga siang hari (mungkin sekitar 11.00, karena saya pernah ke kantor jam 11.00, mereka sudah tidak ada). Jujur, nasi kuning mereka sangat standar & tidak selengkap gerobak nasi kuning lain di sekeliling mereka. Namun, cinta kasih mereka membuat makanan yang sederhana itu terasa begitu nikmat. Cinta kasih yang begitu tulus, sederhana, apa adanya. Bahkan dalam kesusahan sekalipun, mereka tetap saling menguatkan.